Pengawas Malas Guru Lebih Malas

0
407
Ainul Aras

SEPUTAR,KOLAKA.ID-Sekolah Daerah Terpencil (Dacil) kebanyakan memiliki mutu pendidikan yang buruk. Mutu buruk pendidikan ini dapat kita lihat di seantero sekolah Dacil di Indonesia. Banyak faktor yang mempengaruhi buruknya mutu di sekolah-sekolah Dacil. Salah satunya akibat kinerja para aparatur sekolah yang tidak maksimal. Ketidakmaksimalan aparatur sekolah ini diakibatkan pula kurangnya pengawasan.

Sebagaimana tugas dan fungsi seorang pengawas salah satunya mengawasi seorang pendidik atau pengajar yang biasa dikenal dengan sebutan guru. Tujuan pengawas dibentuk untuk mengawasi dan melihat bagaimana kinerja guru serta untuk memperbaiki kinerja guru dalam peningkatan mutu pendidikan. Pengawas sangat berperan penting dalam peningkatan mutu pendidikan, karena pengawas sangat berperan untuk meningkatkan kualitas mengajar guru di kelas agar kualitas siswa di kelas juga meningkat. Sehingga rendahnya mutu pengawas berdampak bagi guru dalam hal ini malas. Oleh karenanya, seorang pengawas harus bertanggung jawab karena pengawas yang baik adalah pengawas yang amanah. Seorang pengawas juga harus menanamkan kesadaran dalam dirinya untuk melaksanakan tanggung jawabnya agar tidak menimbulkan dampak yang dapat merugikan anak didiknya.

Pengawas sekolah adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang diberi tugas, tanggung jawab, dan wewenang, secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melaksanakan pengawasan akademik dan manajerial pada satuan pendidikan (Permendiknas Nomor 21/2010). Pada Undang-undang (UU) guru diperjelas bahwa pengawas adalah guru yang diberi tugas kepengawasan pendidikan. Profesi pengawas terkesan kurang diminati dan dipandang sebelah mata. Ada yang mempersepsikan pengawas adalah makhluk yang mencari-cari kesalahan (blaming) guru dan kepala sekolah tanpa memberikan solusi cerdas, tetapi memberi hukuman. Ada yang mengecap pengawas adalah jabatan buangan sebagai hukuman kegagalan memimpin sekolah. Ada pula anggapan bahwa pengawas adalah jabatan untuk memperpanjang waktu untuk pensiun dari jabatan struktural. Bahkan, tidak sedikit pula yang menilai bahwa pengawas sekolah tidak professional. Dan masih banyak lagi yang lainnya.

Sangat sulit untuk melakukan pembelaan atas berbagai penilain yang miring ini, karena fakta itu ditemukan di lapangan, terutama sebelum tahun 2007. Kondisi objektif kepengawasan seperti itu bermula dari sistem rekruitmen yang kriterianya tidak jelas. Setiap orang bisa diangkat begitu saja sebagai pengawas sesuai dengan selera pengambil kebijakan tanpa mempertimbangkan kelayakannya. Jabatan kepala sekolah dijadikan sebagai tempat pengamanan kepala sekolah yang bermasalah atau memperpanjang masa pensiun dari jabatan struktural, mungkin juga karena sudah lelah mengajar. Sangat sedikit pengawas yang diangkat karena memang pilihannya sendiri dan melalui seleksi.

Sejak maret 2007 sudah ada peraturan menteri pendidikan dan nasional Nomor 16 Tahun 2007 tentang standar pengawas sekolah. Dalam regulasi ini sudah diatur secara rinci kriteria seseorang untuk bisa menduduki jabatan pengawas sekolah. Seorang pengawas sekolah harus: (1) memenuhi kompetensi sebagai pengawas atau pendidikan yang dapat diperoleh melalui uji kompetensi dan atau pendidikan dan pelatihan fungsional pengawas, pada lembaga yang ditetapkan pemerintah; (2) memiliki pendidikan minimum magister (S2) kependidikan dengan berbasis sarjana (S1) dalam rumpun mata pelajaran yang relevan pada perguruan tinggi terakreditasi; (3) memiliki sertifikat pendidik; (4) berusia setinggi-tingginya 50 Tahun; dan (5) lulus seleksi pengawas satuan pendidikan. Masih ada persyaratan lainnya seperti pangkat/golongan dan lama mengajar atau menjadi kepala sekolah. Apabila rekruitmen pengawas sekolah tidak mengikuti kriteria tersebut, maka akan lahirlah pengawas sekolah yang bercitra negatif, tidak kompeten, tidak berwibawa dan kurang berintegritas. Selain itu, jika pengawas dipilih sesuai kehendak dan kemauan pejabat yang berwenang dan bukan berdasarkan kemampuan akan melahirkan pengawas yang tidak bertanggung jawab dan tidak menjalankan tugas yang telah diberikan.

Pengawas pendidikan mempunyai tugas pokok dan fungsinya dalam meningkatkan mutu pendidikan. Dalam Pasal 1 Ayat (2) Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 21 Tahun 2010 tentang petunjuk teknis pelaksanaan jabatan fungsional pengawas sekolah, dan angka kreditnya disebutkan bahwa pengawas sekolah adalah PNS yang diberi tugas, tanggung jawab dan wewenang secara penuh oleh pejabat yang berwenang, untuk melaksanakan pengawasan akademik dan manajerial pada satuan pendidikan. Regulasi tersebut ditindak lanjuti oleh Peraturan Bersama Menteri Pendidikan Nasional dan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 01/III/PB/2011. Nomor 6 Tahun 2011 serta Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 143 Tahun 2014 tentang Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional Pengawas Sekolah dan Angka Kreditnya.

Selain tugas pokok dan fungsi yang dimiliki oleh pengawas, pengawas juga memiliki peranan dalam meningkatkan mutu pendidikan. Secara garis besar peran pengawas pendidikan tertulis dalam peraturan pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan pada pasal 55 bahwa, “pengawasan pendidikan meliputi pemantauan, supervisi, evaluasi, pelaporan, dan tindak lanjut hasil pengawasan”.

Sejalan dengan itu, Sagala (2010: 281) mengatakan bahwa pengawas sekolah merupakan tenaga kependidikan profesional yang diberi tanggung jawab, tugas, dan wewenang secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melaakukan pembinaan dan pengawasan dalam bidang akademik maupun bidang manajerial. Sesuai dengan apa yang tertera pada PP 74 tahun 2008, tugas pokok pengawas sekolah adalah melakukan tugas pengawasan akademik dan manajerial serta tugas pembimbingan dan pelatihan profesional guru atau disebut dengan supervisi akademik.

Supervisi akademik adalah aktifitas atau kegiatan terencana dengan tujuan penongkatan aspek kualitas di sekolah dengan cara membantu para kepala sekolah dan guru melalui dukungan dan evaluasi pada kegiatan pembelajarannya, agar dapat meningkatkan hasil belajar peserta didik (Messi, Wiwin Anggita Sari: 2018). Oleh karena itu, fokus dari kegiatan supervisi akademik adalah mengkaji, mengamati, menilai, memperbaiki, meningkatkan mutu kegiatan belajar mengajar melalui pendekatan bimbingan dan konsultasi yang dilakukan secara profesional. Dengan artian supervisi akademik dalam hal ini tidak bisa terlepas dari penilaian terhadap untuk kerja kepala sekolah dan guru dalam kegiatan mengelola pembelajarannya sehingga menjadikan kepala sekolah dan guru yang professional.

Dalam proses pembelajaran, untuk menjadi guru profesional setidaknya harus memiliki dua kompetensi, yaitu kapabilitas dan kebaktian, dalam artian bahwa guru harus memiliki kompetensi dan kecakapan, memiliki strategi, kemampuan teoritik tentang belajar mengajar yang baik, mulai dari perencanaan, implementasi sampai pada evaluasi dan memiliki kebaktian keguruan yang tinggi, yaitu bakti kepada tugas keguruan di dalam kelas, sebelum dan sesudah di kelas (Rosyada,2004:112).

Muhaimin (2003), guru yang profesional setidaknya memiliki tiga karakteristik utama, yaitu: (1) memiliki komitmen terhadap profesionalitas, dedikasi tinggi, komitmen terhadap mutu proses dan hasil kerja serta prinsip pengembangan yang berkelanjutan, (2) menguasai ilmu dan mampu menjelaskan fungsinya dalam kehidupan, melakukan penyampaian ilmu atau pengetahuan, menjelaskan dimensi teoritis dan praktisnya, serta pengaplikasiannya, (3) memiliki kepekaan di bidang intelektual dan informasi, serta meningkatkan pengetahuan yang dimilikinya secara berkelaanjutan, berusaha mencerdaskan anak didiknya, memberantas kebodohan, melatih keterampilan, bakat, dan minat peserta didik.

Sesuai dengan pernyataan di atas, profesionalisme guru dapat dilihat dari kemampuan guru untuk melakukan tugas pokoknya sebagai pendidik dan pengajar meliputi kemampuan merencanakan, melakukan, melaksanakan evaluasi pembelajaran dan memiliki rasa tanggung jawab pada komitmen pendidikan. Dalam kenyataan di lapangan, dari 3,9 juta guru yang ada saat ini, masih terdapat 25% guru yang belum memenuhi syarat kualifikasi akademik, dan 52 persen guru belum memiliki sertifrikat profesi. Di sisi lain, seorang guru dalam menjalankan tugasnya harus memiliki standar kompetensi yang mencakup kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional.

Oleh karena itu, diperlukan adanya supervisi akademik yang berfungsi untuk mengurangi problematika kompetensi kepala sekolah dan profesionalisme guru. Seperti yang tertera pada permendikbud No 15 Tahun 2018 yang menyebutkan supervisi pendidikan berfungsi untuk memberikan pengawasan pembimbingan dan pelatihan profesional terhadap guru ekuivalen dengan pelaksanaan pembelajaran atau pembimbingan dan juga merencanakan, mengevaluasi, dan melaporkan hasil pelaksanaan pembinaan, pemantauan, penilaian, dan pembimbingan terhadap guru dan kepala sekolah di sekolah binaannya dalam pemenuhan beban kerja.

Meskipun begitu, dalam implementasinya kegiatan pengawasan pendidikan oleh pengawas sekolah tampaknya masih jauh dari apa yang diharapkan. Di lapangan masih di saksikan berbagai persoalan yang berkaitan dengan kegiatan pengawasan pendidikan, baik yang bersumber dari pengawas, maupun faktor yang bersumber dari luar pengawas. Salah satu faktor yang menjadi problematika dalam pelaksanaan pengawasan pendidikan yang bersumber dari pengawas itu sendiri adalah pengawas yang tidak kompeten. Pengawas sekolah seharusnya orang yang sudah handal dan berkualitas karena mereka yang akan membimbing para tenaga pendidik dan memperbaiki kualitas dan mutu pendidikan di sekolah tersebut.

Adapun faktor yang bersumber dari luar pengawas yaitu rendahnya motivasi guru dan kepala sekolah untuk disupervisi. Masih banyak oknum-oknum pendidik yang beranggapan bahwa supervisi merupakan pengawasan terhadap guru dan kepala sekolah dengan menekan kebebasan untuk menyampaikan pendapat dan juga guru senior cenderung menganggap supervisi merupakan kegiatan yang tidak perlu karena merasa bahwa telah memiliki kemampuan dan pengalaman yang lebih. Hal ini menjadi problem bagi pengawas (supervisor) untuk melaksanakan tugasnya karena tidak mendapat respon dari guru tersebut. Seharusnya guru harus antusias dalam dilakukannya supervisi agar guru dapat meningkatkan keprofesinalannya dan juga dapat meningkatkan proses pembelajaran menjadi lebih baik lagi sehingga tujuan pendidikan dapat tercapai secara maksimal.

Pengawas pendidikan pada sekolah efektif menjadi hal yang sangat menentukan dalam menjaga citra dan kualitas pendidikan disekolah tersebut agar konsisten dalam menjalankan semua program dan kegiatan yang mengarah pada terwujudnya visi dan misi sekolah efektif tersebut. Namun, tidak terlepas dari hal lain bahwa dalam mewujudkan visi dan misi yang ada dalam sekolah tersebut banyak menghadapi hambatan diantaranya yaitu belum atau tidak meratanya pendidikan yang di sebabkan oleh faktor minimnya Sumber Daya Manusia (SDM), rendahnya kualitas guru, dan kurangnya sarana dan prasarana yang menunjang untuk pendidikan.

Rendahnya kualitas guru disebabkan karena malasnya pengawas dalam menjalankan tanggung jawabnya yang menyebabkan guru menjadi lebih malas sehingga guru menjadi tidak efektif terhadap pendidikan. Guru yang malas akan sangat berdampak besar bagi mutu pendidikan. Mengapa? Karena seperti yang kita ketahui dan kita kenal sehari-hari guru merupakan orang yang harus di guguh dan ditiru, dalam arti orang yang memiliki charisma atau wibawa hingga perlu untuk ditiru dan diteladani. Karena guru adalah sebagai panutan serta sebagai orang tua yang mengayomi dan mengasuh siswa-siswinya yang berada di lingkungan formal. Sejalan dengan profesional guru tugas utamanya adalah mendidik, mengajar, membimbing, melatih, dan mengevaluasi peserta didik dijalur pendidikan formal. Guru juga memiliki peran yang bersifat multifungsi, lebih dari sekedar yang kita tuangkan pada produk hukum tentang guru.

Sehingga, apa yang akan terjadi jika guru memiliki kualitas yang rendah atau tidak pernah mengasah dan meningkatkan kemampuannya. Tentu saja siswa akan merasa bosan sehingga menurunnya motivasi belajar siswa dalam mengerjakan tugas dan mengikuti proses belajar mengajar di kelas. Guru yang tidak kreatif akan menciptakan siswa-siswi yang tidak uprage yang hanya monoton tanpa mengadakan perubahan karena metode belajar yang digunakan hanya metode ceramah saja. Kualitas pendidikan yang ada di daerah terpencil dicap buruk karena kualitas guru yang buruk pula. Tenaga pendidik khususnya guru PNS yang ada di daerah terpencil malas masuk mengajar, mereka hanya memburu gaji saja bukan tanggung jawabnya. Hal ini dapat dilihat bahwa mereka hanya masuk mengajar saat awal bulan saja untuk mengambil gaji . Guru-guru honorer menjadi korban dari keteledoran guru yang sudah PNS.

Di saat guru PNS memiliki pendapatan rata-rata Rp8,4 juta per bulan, guru honorer hanya menerima Rp550 ribu. Guru honorer cenderung memiliki pekerjaan sampingan dan memiliki kualifikasi yang lebih rendah dibandingkan dengan guru PNS. Walaupun rasio kelas lebih dibandingkan dengan guru PNS. Meskipun rasio kelas hampir sebanding dengan rerata nasional (20 siswa per kelas di daerah yang disurvei dibandingkan dengan 323 tingkat nasional), guru yang disurvei sering kali menggantikan guru yang tidak hadir dan harus mengajar beberapa kelas di 25 persen sekolah meskipun mereka tidak pernah mendapatkan pelatihan terkait hal ini. Hal ini seharusnya harus lebih mendapat perhatian khusus oleh pemerintah dalam hal ini pengawas pendidikan.

Guru malas dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagaimana semestinya karena tidak adanya pengawasan sehingga guru menjadi seenaknya saja dan menjadi lalai dari tanggung jawabnya. Pengawas yang malas akan menciptakan guru yang malas juga karena tidak adanya pembinaan yang diterima guru dari pengawas. Sebagaimana tugas dari pengawas adalah mengawasi guru dan melakukan pembinaan kepada guru agar guru bisa mengembangkan kemampuannya dan memperbaiki sistem pembelajarannya sehingga sistem pendidikan menjadi meningkat. Selain itu, pengawas juga bertugas untuk meningkatkan kulitas tenaga pendidik agar menciptakan generasi yang berkualitas pula. Seorang pengawas juga bertugas untuk mengontrol guru dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya. Dengan adanya pengawas pasti guru menjadi was-was dan merasa dihantui jika tidak melaksanakan kewajibannya.

Berdasarkan survei yang dilaksanakan di 270 sekolah dasar di desa terpencil antara tahun 2016-2017, menemukan sekolah dan desa studi menghadapi tantangan konektivitas yang mungkin menghalangi guru-guru terbaik untuk bekerja di sini. Secara rata-rata lokasinya berjarak 149 kilometer atau lima jam dari kota kabupaten, hanya 29 persen yang terhubung dengan jaringan listrik, dan hanya 17 persen yang memiliki akses internet. Hasil survei mengindikasikan keragaman alokasi sumber daya: 91 persen sekolah memiliki toilet dengan rasio jender yang seimbang, 54 persen memiliki perpustakaan, namun hanya 39 persen memiliki buku teks yang memadai. Hal tersebut juga merupakan salah satu penyebab guru malas. Sebagai seorang pengawas seharusnya juga bisa memahami situasi dan kondisi yang dialami oleh guru. Kemudian mencarikan solusi untuk meminimalisir tantangan yang dihadapi oleh guru.

Jadi, sebagai seorang pengawas seharusnya menanamkan kesadaran dalam dirinya agar segala tugas dan tanggung jawab yang telah diberikan dapat dijalankan sesuai dengan tupoksinya. Apapun alasannya, karena setiap profesi dituntut untuk profesional dalam pekerjaannya dan tidak menjadikan alasan pribadi untuk tidak melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya. Namun pengawas selalu kurang memperhatikan sekolah-sekolah yang ada di Dacil, karena faktor jarak, faktor transportasi, dan lain-lain. Sehingga berbagai faktor ini mengakibatkan tenaga pendidik yang tidak melaksanakan kewajibannya, dan melahirkan oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab yang bisa merusak mutu pendidikan. Sebagaimana tugasnya dalam meningkatkan kualitas pendidikan, pengawas juga harus peka terhadap apa yang dibutuhkan oleh seorang guru agar bisa mengembangkan potensi peserta didiknya menuju generasi yang cerdas. Salah satunya yaitu menyediakan sarana dan prasarana yang dibutuhkan di sekolah tersebut. Jangan hanya menuntut tetapi tidak ada feedback yang diberikan. Selain itu, seharusnya pemerintah melakukan renovasi fasilitas sekolah dan perumahan untuk guru sehingga guru-guru yang ditugaskan di daerah terpencil agar dapat memperbaiki kinerjanya. Untuk meningkatkan kualitas layanan pendidikan di daerah terpencil, pemerintah perlu meningkatkan kualisifikasi dan keterampilan guru dan meningkatkan manajemen kinerja guru dan sistem akuntabilitasnya. (Red)

Oleh: Ainul Aras

Penulis adalah mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sembilanbelas November (USN) Kolaka.

Dosen Pengampu: Andil Fadillah, S.Pd., M.Pd.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here